di pantai senja ini

aku sangka pada karang karang terjal
dia telah mengukir janji
namun kiranya dia hanya membuat istana dari pasir
hingga dengan begitu mudahnya terhapus
gelombang waktu
dan kini dia berlari semakin menjauh
meninggalkan jejak yang dalam di pasir pantai ini
haruskah aku masih percaya ?
ketika dia bercerita
tentang kerang kerang yang  dia rangkai
sebagai hiasan
...

canda sang hujan padaku ( malam ini )

menari nari berkecipak di genangan

sibak deras tirai kerinduan

menikmati dingin yang menggairahkan

begitu ramah canda sang hujan

di perjalanan

ah...maafkan aku, sayang...
keindahan malam ini aku lahap tanpa dirimu
sementara kubiarkan kau sendiri
di balik selimut tebal
berteman bayangan entah siapa
aku tak mengerti
...

kau menikam dari belakang

aku tak menyadari entah berapa kali
punggung ini tertikam...
andai saja sejak kemarin kemarin
aku mau merabanya
memang luka namun masih belum seberapa
dan kini...
perih semakin terasa
ketika ujung belati telah sampai
menembus dada
...

sang sutradara

aku tak mengerti apa yang dia dapatkan
setelah bisa menarik aku
dalam lingkaran permainannya
bahkan betapa kaget setelah aku tahu
banyak diriku yang lain
di dalamnya...
di buatnya tenggelam dalam duka
rekayasa dunia maya
ah...betapa hebatnya dia
menulis cerita
...

cerita dia siang tadi tentang pantai

wahai malam...

sederhana sekali kau ciptakan keindahan ini

lukisan esok yang kan ku jelang

oleh serangga yang berdendang

tentang harapan

yang sempat dia ceritakan padaku siang tadi...

tentang pasir dan riak ombak di pantai

tentang nyiur melambai

yang telah begitu lama menanti

aku dan dia menghampiri

ah...

berlalulah malam

sementara kan ku simpan rapi

senyum ini dalam hati

...

bila itu puisi

sahabat...

ajari aku menulis sajak

bila itu bahasa jiwa yang terisak

dalam sesak

tuntun aku merangkai kata

bila itu menyimpan sejuta makna

hati yang bicara

sahabat...

ajari pula aku membacanya

agar sepenuhnya aku mengerti

bila itu puisi

...

hilang

lembaran hari hari sepi

tiada arti

ketika tak sepatah kata terbaca

seolah lupa seribu bahasa

bagai sebongkah beku

keras membatu

ketika sengaja kau meniadakan diri

dari hari hari

seperti tertelan bumi

hilang

...

Flamboyan

flamboyan...
kau adalah kembang
yang tumbuh dari pohon rindang
di tengah padang
nan gersang
di antara lenggang
ilalang

...

kau dan aku

salah ?

bila padamu aku mengatakan

kau adalah bagian

yang menyatakan keberadaanku

dalam hidup ini

ketika kau dan aku sama merintih

di ruang berbeda

terpisah jarak penyekat segenap indera

dan oleh waktu

yang begitu angkuh menghunus

hingga kau dan aku

tak kuasa wujudkan rasa

yang selalu ada

...

dua bait bercakap

pernah aku berhayal menjadi bayangan dirimu

berdiri di tempat yang sama

berjalan kearah yang sama

menyentuh semua yang kau pegang

melihatmu memandangku

berhamburlah ke arahku,

kan kuajak kau melihat luas dunia

meski hanya sebatas

pandang mataku

setidaknya itulah sedikit bagian

dari semesta

menelan sapa

mungkin kau bersama pelangi

yang hadir senja tadi

juga malam ini

yang entah mengapa tak berbintang

sepertinya kau masih ada

meski hanya menatap dari kejauhan

tak nampak  mata

tak bersuara

aku pun sama terhadapmu

sapa tertelan

di padang yang sunyi ini

tak bernyanyi

tak menari

seperti waktu waktu lalu

...

bila tak ada jingga senja nanti

sejenak berhentilah berdendang

masih ada malam

untuk bercerita tentang dia

pada bulan dan bintang

meski terkadang tak nampak cahayanya

pun masih ada senyap

untuk mengadu

bila nanti di senja yang kau lalui

rona jingga tak kau dapati

seperti saat saat lalu

saat cakrawala terlihat begitu indah

bukankah ketika siang

mendung telah kau undang

hingga matahari

terhalang

...

bisik rerumputan...

entah menyayat entah pula tersayat
flamboyan pun tersalahkan
saat diam terpaku
ketika bunga sempat terpetik
lalu tersemat di gerai legam berkelopak putih
dari sebatang rumput liar
yang kemarin tertebas saat meliuk menari
gemerisik bercerita
tentang harapannya di padang gersang
hingga...
buatnya tak peduli lagi pada rinai gerimis
dan hembusan sang bayu
selama ini di helai helai  tajam daun
pencipta dari sajak sajak
kerinduanya
...

sadarku...

padamu...

ketika uluran tangan ini

sudah tiada arti lagi

ketika semua telah berubah

lalu menjadi salah

baiknya kuhapus rangkaian mimpi mimpi

yang ketika itu kuanggap benar

yang kau pun ada di sana

menjadi bagiannya

maka kini...

pada yang semestinya aku miliki

dalam nyata pasti

kan kurengkuh dan jadikannya

sangat berarti

...

lukisan ini...

tiada arti

di sudut ruang hati

sepi...

tergeletak tak berbingkai

setengah jadi

entah kapan kau mau kembali

menyapukan kuas lagi

entah nanti

entah...

tidak sama sekali

...

di Dermaga itu...

sahabat...

di saat temaram senja merona merah

aku tenggelam dalam bias ragu

impian impian yang pernah melintas

beku di antara hari hari sepiku

sungging senyummu datang melintas

membawa syair syair tentang kehidupan

membisikkan bait bait kata merdu

mengalunkan nada nada penuh ceria

membawa ilusiku menerawang jauh

dan jauh sekali

seolah disana ada lentera

seolah di sana ada hamparan asa

seolah hendak menyibak hamparan semuku

seolah hendak membalut lukaku

yang sempat membiru

namun, sahabat...

biarlah sunyi menemani langkahku

di setiap jalan yang aku lewati

biarlah di sudut itu tetap sepi

walau di sana mentari ingin menemani

sahabat...

terlalu jauh dermaga itu kurengkuh

walau aku ingin singgah kesana

membaringkan sejuta beban yang bergayut

berlayar menghalau badai bersama

bisakah  itu terjadi ?

maafkan aku, penantiku...

andai kau tahu yang kurasa

mungkin tak akan pernah ada kata cinta

impian maupun harapan

kau ucapkan

pasti kau akan merasa iba

belas kasihan yang berujung kecewa

karena pada kenyataannya

tak kau sangka

aku terjebak tak berdaya

dalam genangan ragu terlunta lunta

bertopeng tawa ceria

menutup nestapa

Tuhan...

sampai kapan aku mampu bertahan

sembunyikan semua ini ?